Monarki terakhir Korea Selatan, 1890: Raja Kojong dan penerusnya.
Pada suatu subuh, 11 Februari 1896, dua buah sedan melewati gerbang Kedutaan Rusia di Seoul. Dua orang, yang mengenakan pakaian petugas perempuan di Pengadilan Korea turun dari mobil tersebut. Pakaian itu berhasil menyamarkan Raja Korea Gojong dan pewarisnya Sunjong, yang meninggalkan istana mereka karena alasan keamanan.
Ini adalah sebuah episode yang masih dikenang dalam sejarah. Takut keselamatannya terancam, sang monarki dari negara yang beradulat memilih menggunakan hak ekstra-teritorial kedutaan asing dan menjadikannya sebagai markas sementara.
Ketakutan Raja Gojong cukup beralasan. Sejak 1894, Seoul berada di bawah kekuasaan militer Jepang (pasukan Jepang memasuki kota ini untuk turun dalam perang Jepang-Tiongkok). Jepang mendirikan pemerintahan boneka, yang mengesampingkan Raja Gojong dan Ratu Min. Sang ratu, yang lebih tegas dibanding suaminya, mencoba mengorganisir gerakan perlawanan. Jepang lalu merancang pembunuhannya pada Oktober 1895.
Raja Gojong dan putranya tentu khawatir mereka akan menjadi target selanjutnya, dan mencari cara untuk melarikan diri, berpaling pada Kedutaan Rusia di Seoul. Diplomat Rusia lalu menjanjikan dukungan.
Peristiwa ini kerap ditampilkan oleh sejarawan nasionalis Rusia. Sebagi contoh, betapa kebijakan luar negeri Kekaisaran Rusia sangat cinta damai dan mengesampingkan diri sendiri. Penulis, yang merupakan seorang realis keras kepala—yakin bahwa tak ada negara yang pernah melakukan diplomasi semacam ini, dan khususnya, ada sedikit keraguan bahwa aksi Rusia dipicu oleh muatan politis.
Rusia segera melihat Jepang sebagai rival utama di Timur Jauh dan ingin mempertahankan Korea dari pengaruh Jepang.
Pelarian sang raja dan penerusnya lalu dirancang, dan selama 12 bulan berikutnya mereka tetap berada di balik tembok Kedutaan Rusia, dilindungi oleh para tentara Rusia.
Untuk menyediakan ruang yang cukup bagi Yang Mulia, sang raja diberi dua kamar terbaik di gedung tersebut. Sebuah rumah kayu khusus lalu dibangun untuk menjadi dapur kerajaan. Di saat yang sama, lapangan kedutaan diambil alih oleh beberapa kementerian pemerintah. Para selir juga hadir, dan istri-istri diplomat Rusia mendeskripsikan mereka sebagai 'para perempuan yang menunggu'.
Semua aturan praktis diawasi oleh Nona Sontag, seorang kerabat jauh dan manajer rumah tangga Karl Weber, bekas perwakilan Rusia untuk Korea. Kala itu, Weber sudah mengakhiri masa tugasnya, namun karena ketegangan situasi politik dan pengalamannya, ia tetap berada di Korea bersama perwakilan selanjutnya.
Diduga, Sontag memperkenalkan seni meminum kopi pada Raja Gojong. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sang raja pernah meminum kopi sebelumnya, namun tak pernah kecanduan seperti setelah tinggal di kedutaan.
Sepanjang periode tersebut, sang raja menolak beberapa keputusan pro-Jepang yang diambil kabinet dan memberi kelonggaran pada Rusia—meski sebagian besar konsesi tersebut berumur pendek (seperti keputusan untuk mempercayakan instruksi bagi unit militer Korea pada Rusia).
Konsesi ini, dan situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, mulai menjengkelkan banyak warga Korea. Mereka paham sang raja perlu mengamankan diri, namun mereka tak suka melihat raja mereka menjadi penghuni tetap kedutaan asing. Setelah beberapa negosiasi untuk memastikan keselamatan keluarga kerajaan, Raja Gojong meninggalkan Kedutaan Rusia pada 20 Februari 1897, mengakhiri episode unik ini.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda