Presiden Ossetia Selatan Leonid Tibilov mengatakan bahwa negaranya ingin mengadakan referendum dengan "bentuk khusus" untuk bergabung dengan Rusia. Demikian hal tersebut dikabarkan media Rusia RT, Sabtu (20/2). Menurut Tibilov, langkah ini dilakukan demi menyatukan kembali orang-orang Ossetia yang terpisah dan sekaligus melindungi mereka dari berbagai ancaman yang mungkin terjadi selama beberapa dekade mendatang.
Dalam pidatonya di parlemen republik tersebut pada Jumat (19/2), Presiden Tibilov mengungkapkan persiapan menuju referendum akan berjalan dalam waktu satu tahun.
"Kami khawatir dengan situasi dunia yang kian memburuk — peristiwa di Ukraina, Suriah dan di seluruh kawasan Timur Tengah, serta langkah NATO terhadap perbatasan Rusia, dan juga oleh milisi anti-Rusia, dan retorika anti-Ossetia oleh tetangga kita di selatan," kata Tibilov sebagaimana yang dikutip oleh TASS.
Sang pemimpin juga mengatakan bahwa bergabung dengan Rusia adalah "mimpi lama" Ossetia Selatan dan kerabat Ossetia mereka yang terpisah. Dalam hal ini, Tibilov mengacu pada Ossetia Utara yang merupakan bagian dari Federasi Rusia.
"Seperti yang kita pahami, masalah ini sulit dan rumit, dan kita tidak ingin membuat mitra strategis kita (Rusia) mendapatkan masalah di arena internasional. Karena itu, saya percaya referendum ini harus diadakan dalam bentuk khusus," katanya menambahkan.
Tibilov mengaku, langkah ini akan melibatkan amandemen konstitusi yang memungkinkan presiden Ossetia Selatan untuk meminta Moskow mengintegrasikan republik tersebut sebagai bagian dari Rusia. Republik Ossetia Selatan, nama resmi negara tersebut, nantinya pun akan diubah menjadi "Alania" untuk memudahkan penyatuan dengan wilayah Rusia Ossetia Utara-Alania.
Sang presiden menekankan bahwa ini adalah satu-satunya cara bagi republik tersebut demi mendapatkan jaminan keamanan dan pembangunan jangka panjang yang berlangsung selama beberapa dekade bahkan ratusan tahun ke depan.
Ossetia Selatan yang sebelumnya merupakan bagian dari Georgia pada era Soviet, mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1990 di tengah meningkatnya kekerasan berbasis etnis terhadap rakyat Ossetia. Deklarasi kemerdekaan menyebabkan pecahnya Perang Georgia-Ossetia Selatan yang pertama pada tahun 1991. Perang yang dilancarkan oleh kepemimpinan nasionalis Georgia tersebut merenggut ratusan jiwa dan memaksa sekitar 100 ribu warga Ossetia melarikan diri dari rumah mereka.
Kekerasan terhadap rakyat Ossetia Selatan diakhiri pada 1992 oleh pasukan penjaga perdamaian gabungan yang terdiri dari Rusia, Ossetia Selatan, dan berbagai elemen dari pihak Georgia. Namun demikian, perdamaian tersebut tak berlangsung lama.
Sementara referendum akan segera dibahas dengan Rusia, Tibilov mengungkapkan bahwa Moskow tidak perlu tergesa-gesa menanggapi permintaan tersebut.
"Saya percaya bahwa sangat penting untuk menunjukkan wajah asli dari 'demokrasi Georgia' kepada masyarakat internasional," tambah Tibilov. "Karena itu, saya berbicara kepada parlemen dan meminta untuk mempersiapkan dan memulai rapat dengar pendapat di Majelis Rendah Parlemen Rusia (Duma) untuk mengakui genosida terhadap rakyat Ossetia Selatan yang dilakukan oleh Georgia pada tahun 1920, 1989-1991, dan 2008."
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda