Senjata Rusia di Antara Dua Raksasa Asia: Peluang atau Tantangan?

Tank-tank Arjun (tank tempur utama/MBT) MK-I Tentara India dipamerkan selama parade Hari Republik di New Delhi 26 Januari 2014.

Tank-tank Arjun (tank tempur utama/MBT) MK-I Tentara India dipamerkan selama parade Hari Republik di New Delhi 26 Januari 2014.

Reuters
India dan Tiongkok, dua raksasa Asia, memberi tiket masuk bagi senjata Rusia. Sebagai konsekuensi, Moskow harus memastikan bahwa kedua pihak tak merasa terancam atas akuisisi mereka masing-masing.

India adalah importir senjata terbesar di dunia, dengan anggaran pengeluaran pertahanan negara diperkirakan akan mencapai 250 miliar dolar AS pada dekade mendatang. Rusia hendak meraup sebagian dari angka tersebut dengan memasok pesawat tempur canggih, kapal selam, misil, serta kapal induknya bagi New Delhi.

Sementara, Tiongkok juga mengincar senjata canggih Rusia untuk menandingi kekuatan militer AS di Asia Pasifik. Seiring dengan tumbuhnya jumlah ekspor senjata tangguh dari Moskow ke New Delhi dan Beijing, Rusia harus menjaga keseimbangan agar tak ada pihak yang merasa terancam atau terlemahkan dari akuisisi tersebut. Kegagalan untuk mengatasi hal ini akan menciptakan kerugian di kedua pasar yang menggiurkan tersebut.

Jelas, menjaga agar para raksasa Asia tetap bahagia tak akan menjadi tugas yang mudah karena keduanya melihat satu sama lain sebagai ancaman. Dalam sebuah survei yang digelar pada 2014 oleh Pew Research Center, 72 persen warga India khawatir jika sengketa wilayah antara Tiongkok dengan negara-negara tetangganya akan memicu konflik militer. Mayoritas opini publik di kedua negara bersifat negatif terhadap satu sama lain.

Dengan latar belakang persaingan di Asia ini, terdapat aspek kompetitif untuk tiket pembelian senjata raksasa dari Rusia. Mengingat India dan Tiongkok sama-sama memiliki pasukan mliter yang besar serta daratan dan ruang udara yang luas untuk dilindungi, kebutuhan pertahanan mereka terbilang mirip.

Selain itu, karena keduanya memiliki kantong tebal maka mereka bisa membeli senjata paling baru dan paling mahal. Akibatnya, New Delhi dan Beijing kadang membeli senjata yang sama, seperti jet tempur Sukhoi-27 (dan variannya), helikopter Mi-17, pesawat angkut militer Il-76 Ilyushin, serta yang terbaru ialah sistem pertahanan misil S-400.

Pembelian senjata canggih yang serupa oleh negara saingan adalah fenomena yang terbilang baru. Pada masa Perang Dingin, Barat dan sekutunya membeli senjata dari negara-negara NATO, sementara negara-negara Eropa Timur dan mereka yang berhubungan baik dengan Moskow membeli senjata Uni Soviet. Penggolongan yang rapi tersebut kini menghilang. Untuk melawan sanksi ekonomi Barat dan melindungi pangsa pasarnya, Moskow bersedia menjual permata berharga dari industri pertahanannya pada Tiongkok.

Faktor Risiko

India dan Tiongkok membeli senjata senilai miliaran dolar dari Rusia, sehingga mereka memiliki kekhawatiran yang lazim mengenai kemungkinan bocornya data rahasia. Hal ini bukanlah skenario yang tak mungkin. Setelah kebocoran informasi rahasia baru-baru ini mengenai Scorpene Prancis, India menangguhkan rencana untuk memesan kapal selam tersebut. Menimbang bahwa secara virtual segala hal mengenai cara kerja kapal selam tersebut kini menjadi rahasia umum, India tak punya opsi lain.

Kedua raksasa Asia kini menangani senjata Rusia yang sama persis, sehingga ketakutan semacam itu semakin tinggi. Sebagai contoh, India tak punya jaminan bahwa kekuatan dan kelemahan Sukhoinya belum bocor ke Angkatan Udara Pakistan.

Kabar mengenai penjualan S-400 untuk India pada Oktober lalu mungkin menciptakan debaran jantung bagi Beijing.
Penjualan Su-35 — jet tempur nonsiluman tercanggih Rusia — pada Tiongkok juga menciptakan ancaman tersendiri bagi India karena pesawat tersebut separuh generasi lebih maju dibanding Sukhoi milik India. Meski Beijing baru memesan 24 pesawat, Su-35, yang memiliki jangkauan lebih luas, kemampuan manuver luar biasa, daya tembak, serta sebagian karakteristik siluman, memiliki potensi untuk memengaruhi pertempuran udara jika terjadi perang antara India dan Tiongkok.

Sementara, kabar mengenai penjualan S-400 untuk India pada Oktober lalu mungkin menciptakan debaran jantung bagi Beijing. Dua tahun lalu, Tiongkok adalah pembeli pertama sistem misil pertahanan udara paling tangguh tersebut. Kemungkinan, negeri Tirai Bambu tersebut tak melihat transaksi dengan India sebagai hal yang menyenangkan.

Menciptakan Solusi

Melihat ketertarikan India dan Tiongkok terhadap senjata Rusia, pihak Rusia bisa menawarkan varian modifikasi agar kedua pihak bisa tidur nyenyak. Ambil contoh Su-27 (julukan NATO: Flanker). Pesawat dengan kemampuan manuver super ini mungkin pesawat jet yang paling banyak dimodifikasi sepanjang sejarah. Tiongkok adalah pembeli pertama saat ia memesan varian SK berkursi tunggal pada 1992. Pada 2002, India menjadi pembeli asing terbanyak pesawat ini dengan memesan 272 pesawat Su-30MKI. Versi kursi ganda pesawat ini memiliki jangkauan tempur yang lebih unggul serta daya angkut yang superior.

“Dengan segala hormat, Su-30MKI buatan India adalah versi yang paling mumpuni yang ada, dengan perangkat elektronik Israel dan Eropa, serta pilot-pilot india yang terlatih dengan baik.”
Sukhoi India hanya memiliki sedikit persamaan dengan milik Tiongkok. India membangun kerangka pesawat tempur ini kemudian mempersenjatainya dengan perangkat komunikasi dan sensor dari India, Israel, dan Prancis. Sebagaimana yang disampaikan dalam Strategy Page, “Dengan segala hormat, Su-30MKI buatan India adalah versi yang paling mumpuni yang ada, dengan perangkat elektronik Israel dan Eropa, serta pilot-pilot india yang terlatih dengan baik.”

Faktanya, keteguhan India untuk memodifikasi pesawat Rusia ini terbukti sukses, bahkan Angkatan Udara Rusia menciptakan Su-30SM terbaru mereka berdasarkan modifikasi MKI India. Sama halnya dengan pasukan udara Aljazair, Malaysia, dan Vietnam yang menciptakan konfigurasi jet mereka sesuai kebutuhan dan preferensi lokal, sehingga tiap negara memiliki armada Flanker spesial mereka masing-masing.

Rusia awalnya menolak saat India hendak memodifikasi Sukhoi mereka karena artinya subkontraktor Rusia akan kalah. Namun, upaya India malah menggiring sejumlah pesanan asing, yang menciptakan dorongan luar biasa bagi industri pesawat Rusia. Model open source yang menawarkan fleksibilitas bagi modifikasi ini patut dipertahankan.

Tak Ada Alternatif

India memutuskan untuk membeli S-400 setelah mengetahui Tiongkok akan mendapatkan sistem misilnya segera. Jika New Delhi memiliki kekhawatiran yang berlebihan, mereka mungkin memilih membeli misil AS (Patriot) atau Israel.

Faktor kunci yang mungkin memengaruhi India adalah fakta bahwa S-400 merupakan sistem misil pertahanan udara paling bandel di dunia. Bahkan jika pilot musuh mengetahui rahasia mereka, pihak lawan tak akan bisa kabur darinya. Misil S-400 dapat melaju dengan kecepatan 17 ribu kilometer per jam, delapan kali lipat lebih cepat dari kecepatan sebagian besar pesawat tempur, hanya menyisakan waktu yang sangat singkat bagi pilot musuh untuk bereaksi. Aspek inilah yang membuat AS dan Israel mendesak Rusia agar tak mengirim sistem S-300 yang lebih lama ke Suriah dan Iran.

Senjata seperti S-400 tak tersedia di AS atau negara Barat lain. Mereka juga kesulitan untuk meniru senjata ini. Tiongkok sudah memiliki S-300 selama bertahun-tahun dan pada 2010 lalu Rusia mengirim 15 pasokan tambahan dalam kontrak senilai 2,5 miliar dolar AS.

Beijing memang terkenal gemar meniru produk buatan negara lain. Namun, kompleksitas S-300 membuat Tiongkok tak mampu memproduksi tiruan yang layak bahkan setelah tiga dekade memiliki desain lama Rusia. Fakta bahwa Tiongkok membeli enam sistem S-400 seharga tiga miliar dolar AS membuktikan bahwa tiruan HQ-9 tidaklah cukup — perangkat yang kebetulan belum menerima satu pun pesanan ekspor.

Karena itu, Moskow perlu menawarkan senjata yang tak tertandingi atau tak tersedia di tempat lain. Mereka perlu mengincar pasar India dan Tiongkok untuk langkah pertama.

Pilihan Peningkatan Kualitas

Masa penggunaan serta kapabilitas performa senjata bisa ditingkatkan dengan modifikasi. Hal ini merupakan pilihan lain yang disediakan Rusia bagi pembelinya. AU India memiliki setidaknya 272 Sukhoi dan angka tersebut bisa mencapai 300 buah dengan pembuatan Flanker secara domestik sebanyak 12 – 18 buah per tahun untuk menggantikan MiG yang sudah memasuki masa purnabakti. 

Angka tersebut sangat besar untuk ukuran pesawat canggih, sedangkan 24 pesawat Su-35 Tiongkok mungkin hanya akan menciptakan dampak marginal dalam keseimbangan kekuatan udara di atas Himalaya. Selain itu, India juga kini hendak meningkatkan kualitas Sukhoi Super yang akan mempertajam kekuatan mematikan jet Su-30MKI mereka. Hal ini seharusnya dapat menetralisasi induksi Su-35 oleh Tiongkok.

Peraturan Keterikatan

Saat senjata sudah dikeluarkan dari kapal atau pesawat kargo Rusia, Moskow tak memiliki kendali sama sekali atas pesawat mereka, atau bagaimana mereka akan digunakan. Alasan kunci mengapa senjata Rusia semakin populer di kancah internasional ialah karena Moskow tak percaya terhadap praktik pengendalian penggunaan. Hal ini merupakan kebijakan yang tepat, berbeda dengan kebijakan AS yang menjual senjata pada pihak tertentu, tapi kemudian akan menghukum mereka saat terjadi konflik.

Namun, Rusia dapat berkomunikasi secara langsung untuk mengingatkan bahwa Rusia kelak tak mau menjual senjata jika India dan Tiongkok menggunakan senjata tersebut terhadap satu sama lain. Sebagai contoh, S-400 jelas ditujukan untuk digunakan melawan pesawat siluman AS di pesisir timur Tiongkok. Mereka tak seharusnya ditempatkan di Himalaya untuk mengancam India. Kedua, senjata S-400 India seharusnya hanya ditempatkan di perbatasan Pakistan.

Tentu, dalam perang peraturan semacam ini tak berlaku. Namun, jika ini diterapkan di masa damai maka peluang meningkatnya ketegangan jauh lebih kecil.

Deeskalasi

Akhirnya, Moskow tak boleh lupa bahwa tanpa dukungan dari kedua negara Asia tersebut, industri pertahanannya mungkin hanya akan menjadi bayangan pucat dari kejayaan masa lalu. Setelah perpecahan Uni Soviet pada 1991 dan jatuhnya ekonomi terencana mereka, Rusia kehilangan sebagian besar pasar senjata internasional mereka, termasuk di negara-negara Eropa Timur. Tiongkok dan kemudian Indialah yang membangkitkan biro pertahanan Rusia dengan pesanan skala besar.

Melihat gambar yang lebih besar, Rusia seharusnya mendorong India dan Tiongkok menyelesaikan sengketa wilayah mereka agar keduanya tak akan menemui bentrokan. Moskow telah memutuskan untuk lepas tangan dari perselisihan di Himalaya — mungkin karena opini publik, khususnya di India — tidaklah kondusif untuk melakukan serah-terima di perbatasan. Namun, ia bisa mengambil langkah-langkah kecil di area ini.

Tantangan jelas besar. India adalah salah satu dari sedikit negara di dunia yang pengeluaran pertahanannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sementara, nafsu Tiongkok untuk memiliki senjata terbaru seakan tak bisa terpuaskan. Oleh karena itu, keputusan untuk bertahan di pasar India dan Tiongkok hanya ada di tangan Rusia sendiri.

Rakesh Krishnan Simha merupakan jurnalis yang tinggal di Selandia Baru dan analis hubungan luar negeri, dengan ketertarikan khusus dalam sejarah pertahanan dan militer. Ia kini menjadi Dewan Penasihat Diplomasi Modern, portal hubungan luar negeri yang berbasis di Eropa. Ia berkicau di Twitter sebagai @byrakeshsimha. Pandangan yang disampaikan di sini bersifat personal dan tak merefleksikan pandangan RBTH.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki