Cuplikan gambar dari film komedi Soviet “Penculikan, Gaya Kaukasus”.
kinopoisk.ruKetua parlemen Ingushetia (salah satu subjek federal di Rusia) Zelimkhan Yevloyev telah mengusulkan hukuman tiga tahun penjara untuk kasus penculikan perempuan dan kawin paksa, demikian hal itu dilaporkanTASS. Menurut Yevloyev, penculikan pengantin semakin sering terjadi di Kaukasus meski pihak berwenang berupaya keras mencegah hal ini.
Pasal penculikan dalam KUHP Rusia dapat menjerat terpidana dengan hukuman penjara hingga 15 tahun, tergantung dari apakah kejahatan itu dilakukan secara berkelompok, dan apa dampaknya terhadap korban. Namun, hukum itu juga menyatakan bahwa jika sang penculik melepaskan korbannya secara sukarela maka ia tidak akan dikenai hukuman apa pun.
Sayangnya, sebagian besar penculikan tidak dihukum karena korban enggan melapor pada polisi. Para korban takut kehilangan kehormatan dan “kesuciannya” jika kasus tersebut dipublikasikan.
Pada 12 April lalu, kasus penculikan pengantin di Ingushetia sampai pada tahap pengadilan. Sekelompok pria diketahui menculik seorang gadis berusia 19 tahun dari rumah keluarganya yang hingga kini masih belum diketahui keberadaannya.
Tradisi penculikan dipraktikkan secara luas di banyak republik Kaukasus. Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov mengatakan bahwa republiknya telah berhasil membasmi penculikan pengantin perempuan. Namun di republik-republik Kaukasus lainnya, seperti di Dagestan dan Ingushetia, kasus penculikan perempuan masih sering terjadi.
Sebagaimana yang dikutipLenta.ru, Yelena Samoylova, sutradara film dokumenter “Penculikan, Gaya Kaukasus”, menyebutkan bahwa setiap tahun polisi di Dagestan menerima sekitar 50 laporan dari orang tua yang mengaku anak gadisnya telah diculik. Namun demikian, Samoylova mengklaim bahwa para perempuan tidak menentang praktik ini.
Di media sosial Rusia VKontakte, ada sebuah grup yang bernama “Penculikan Pengantin di Kaukasus” yang beranggotakan sekitar 900 orang. Berdasarkan sebuah jajak pendapat, 56,9 persen pria di grup tersebut mengaku menculik perempuan karena orang tua mereka tak mengizinkan mereka untuk menikah. Sementara, 32,8 persen lainnya mengatakan bahwa tindakan itu mereka lakukan akibat merasa putus asa karena kedua orang tua dan sang perempuan menolak melangsungkan pernikahan.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda